Diberdayakan oleh Blogger.

Datos personales

Foto saya
Cimahi, Bandung Jabar, Indonesia
Belajarlah jadi diri sendiri. Be your self:)

Followers

Cari Blog Ini

Copyright del Texto

ST12 - kebesaran mu

Diposting oleh Suharja,S.Pd

Diposting oleh Suharja,S.Pd

Upaya Wali Kota Cimahi, Ir. H.M. Itoc Tochija, M.M. menumbuhkembangkan pendidikan masa kini dan masa

Wednesday, 24 January 2007
Cimahi, 24 Januari 2007
Upaya Walikota Cimahi, Ir. H. M. Itoc Tochija, MM menumbuhkembangkan pendidikan masa kini dan masa datang di Kota Cimahi, mendapat dukungan dari pengurus Komite Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan sederajat se-Kota CImahi.

Dukungan yang diberikan sekitar 300 pengurus Komite Sekolah tersebut disampaikan  pada acara Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Calon Fasilitator Pemberdayaan Komite Sekolah, Rabu (24/1) di Gedung Pusat Pendidikan (LEC) Kota Cimahi, Jl. Citeureup Cimahi. Acara Tersebut dihadiri Walikota Cimahi, Ir. . M. Itoc Tochija, MM, Wakil Ketua DPRD Kota Cimahi, Djumena WS, beserta anggota komisi D DPRD Kota Cimahi, Ketua Dewan Pendidikan Kota Cimahi, Drs. Atih Permana beserta jajarannya, Ketua Paguyuban Pasundan Puseur, H.A. Safe'i, Unsur SKPD di Lingkungan Pemkot Cimahi, Para Camat dan para Kepala Komite Sekolah se-Kota Cimahi.

"Komite Sekolah mendukung keberhasilan sasaran pembangunan Kota Cimahi sebagai Kota Cerdas dan Kota yang berwawasan Cyber City dengan indeks Pembangunan Manusia (IPM) 80 tahun 2010" ujar ketua Komite SMA Negeri  6 Cimahi, Aning . Nasir yang membacakan pernyataan sikap.

Untuk mendukung upaya yang dilakukan Walikota, Komite juga bertekad membangun citra dan kualitas pendidikan berstandar nasional dan internasional. Selain itu siap membentuk organisasi Komite sekolah yang akuntabel dan berkompeten secara internal dan eksternal.

Menanggapi pernyataan sikap dari jajaran Komite Sekolah, Walikota Cimahi, Itoc Tochija, mengucapkan terima kasih terhadap dukungannya, karena kepercayaan ini akan dijadikan modal untuk terus melaksanakan Pembangunan di Kota Cimahi.

"Sebenarnya keberhasilan yang dicapai sekarang ini bukan keberhasilan pribadi tetapi merupakan keberhasilan seluruh masyarakat Kota Cimahi, mudah-mudahan dengan kebersamaan ini kita bisa melaksanakan Konsistensi terhadap komitmen-komitmen yang ada dalam pernyataan sikap tersebut" Kata Walikota.

Menurut Walikota, Kota Cimahi sangat wajar kalau menjadi Kota Jasa, dalam hal ini jasanya adalah jasa peningkatan kualitas sumber daya manusia. " Jadi nantinya berbagai kebutuhan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia bisa didapat di Kota Cimahi" Katanya.

Sementara itu, Ketua Dewan Pendidikan Kota Cimahi, Drs. Atih Permana  mengatakan, dukungan yang diberikan pengurus komite sekolah, murni sebagai sikap yang keluar dari kesepakatan jajaran komite sekolah. "Pernyataan sikap tersebut, nuansanya dalam rangka semangat membangun pendidikan, tidak dalam nuansa politis. Jadi itu sangat wajar, sebagai ekspresi semangat untuk membangun pendidikan," ungkap Permana.

Menurut Permana, Wali Kota Cimahi sangat konsen terhadap pembangunan pendidikan. Meski Kota Cimahi baru berusia
lima tahun, namun penyelenggaraan pendidikannya sudah tergolong maju. Antara lain dilihat dari angka IPM yang sudah mencapai sekitar 73, adanya sekolah yang berstandar nasional, dan sejumlah penghargaan di bidang pendidikan.

Atih juga menambahkan bahwa Dewan Pendidikan maupun Komite Sekolah pada dasarnya akan mendukung terhadap kepemimpinan seorang kepala daerah yang kepeduliannya cukup tinggi terhadap dunia pendidikan. “ Kami akan mendukung siapa saja yang menjadi kepala daerah yang sangat concern terhadap dunia pendidikan “ kata Atih.

Sedangkan menurut Ketua Dewan Pendidikan Propinsi Jawa Barat, Drs.H.Uu Rukmana, pada awal sambutannya menyampaikan bahwa yang bisa mendorong suatu sekolah untuk menjadi lebih maju adalah komite sekolah, jangan hanya mengandalkan pemerintah karena pemerintah mempunyai keterbatasan dana. “ Dunia tidak akan maju kalau dunia pendidikannya tidak maju, dan pendidikan akan maju jika ditunjang oleh pemerintah “ ujarnya.
Uu mengatakan, bahwa demi kepentingan anak didik, kalau satu sekolah akan membuat anggaran sekolah atau APBS akan melibatkan hasil sumbangan orang tua tidak akan menjadi suatu kesalahan tetapi harus berdasarkan hasil rapat, isinya rasional, wajar dan yang penting lagi harus sepengetahuan Kepala Dinas Pendidikan. “ Tidak ada sekolah unggulan kalau tidak dibantu oleh orang tua murid atau komite sekolah “ katanya.

Pada akhir sambutannya Uu berpesan bahwa komite sekolah jangan dijadikan ajang untuk mencari rejeki.

ACUAN OPERASIONAL KEGIATAN DAN INDIKATOR KINERJA KOMITE SEKOLAH

Diposting oleh Suharja,S.Pd

ACUAN OPERASIONAL KEGIATAN
DAN INDIKATOR KINERJA
KOMITE SEKOLAH
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
TIM PENGEMBANGAN DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH
JAKARTA, OKTOBER 2003
1
BAB I PENDAHULUAN Our schools are at the heart of the community. They have a rich tradition of parental and community involvement in education (Ministry of Education and Training, Ontario, Canada). Sekolah-sekolah kita ada pada jantung masyarakat. Mereka memiliki satu tradisi yang kaya tentang keikutsertaan orang tua dan masyarakat dalam pendidikan (Menteri Pendidikan dan Pelatihan, Ontario, Kanada)
1. Latar Belakang
Sekolah berada pada jantung komunitas atau masyarakat setempat. Mereka memiliki satu tradisi yang kaya tentang keterlibatan orangtua siswa dan komunitasnya dalam penyelenggaraan pendidikan. Demikianlah pernyataan Kementerian Pendidikan dan Pelatihan, Ontario, Kanada. Demikian pulalah sebenarnya hakikat sekolah di mata hati keluarga dan masyarakat di Indonesia. Untuk memantapkan dan mengembangkan tradisi tersebut, maka dibentuklah satu lembaga yang dikenal dengan nama generik Komite Sekolah yang berkedudukan di: (a) satu satuan pendidikan tertentu, (b) beberapa satuan pendidikan sekolah yang sejenis yang berada di kompleks atau kawasan yang berdekatan, (c) beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenis dan jenjang pendidikannya serta terletak di kompleks atau kawasan yang berdekatan, dan (d) beberapa satuan pendidikan yang sama di kawasan yang berdekatan milik atau dalam pembinaan satu yayasan penyelenggara pendidikan. Di samping itu juga dibentuk Dewan Pendidikan pada tingkat Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota (Pasal 56 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Agar Komite Sekolah dapat segera melaksanakan roda organisasinya diperlukan satu acuan yang dapat dipedomani. Di samping itu, pelaksanaan roda organisasi Komite Sekolah perlu satu ukuran berupa indikator yang akan digunakan untuk menilai kinerjanya. Itulah sebabnya maka disusunlah buku panduan operasional yang disebut dengan ‘Acuan Operasional Kegiatan dan Indikator Kinerja Komite Sekolah’. Buku panduan operasional kegiatan dan indikator kinerja Komite Sekolah ini disusun antara lain karena adanya beberapa latar belakang permasalahan sebagai berikut:
a. Proses pembentukan Komite Sekolah kebanyakan belum sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2003 tanggal 2 April 2003;
b. Banyak Komite Sekolah dibentuk dengan pola-pola stigmatis yang diwarisi dari BP3 atau POMG;
2
c. Timbul kesan dan pandangan yang amat negatif dari orangtua dan masyarakat terhadap konerja Komite Sekolah yang menyatakan bahwa “kenaikan iuran dan atau uang sekolah menjadi lebih besar karena dibentuknya Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah”. Kesan dan pandangan negatif ini timbul dari kebijakan, program, dan kegiatan operasional Komite Sekolah yang belum sepenuhnya mencerminkan pelaksanaan peran dan fungsi Komite Sekolah sesungguhnya. Hal ini terjadi antara lain karena Komite Sekolah yang baru dibentuk tersebut belum memiliki acuan yang dapat dijadikan rambu-rambu dalam pelaksanaan kegiatan operasionalnya, serta ukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja organisasi. Praktik pelaksanaan peran dan fungsi Komite Sekolah yang dinilai menyimpang antara lain terjadi model Komite Sekolah yang terlalu meniru gaya birokrat atau menjadi stempel sekolah (di bawah komando kepala sekolah) di satu sisi, dan model Komite Sekolah yang meniru gaya LSM (melebihi kewenangan yang seharusnya) dan bahkan sebagai eksekutor (melakukan eksekusi atau hukuman) di sisi lain.
d. Komite Sekolah yang telah dibentuk itu pun banyak yang belum memiliki Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang disusun sendiri, dan belum pula memiliki program kerja jangka panjang, menengah, dan jangka pendek yang disusun berdasarkan aspirasi orangtua dan masyarakat sebagai komponen utama stakeholder pendidikan.
2. Landasan
Acuan operasional kegiatan dan indikator kinerja Komite Sekolah ini disusun berdasarkan:
a. UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
b. UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
c. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
d. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
e. PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Daerah Provinsi Sebagai Daerah Otonom.
3. Tujuan
Berdasarkan latar belakang beberapa permasalahan tersebut, maka dipandang perlu adanya satu acuan operasional kegiatan dan indikator kinerja Komite Sekolah, sambil menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) yang secara khusus akan menjadi acuan yang akan digunakan dalam pelaksanaan kegiatan dan untuk indikator yang akan digunakan untuk mengukur kinerja Komite Sekolah. Acuan operasional kegiatan dan indikator kinerjan Komite Sekolah ini disusun dengan tujuan sebagai berikut:
a. menjadi acuan bagi warga sekolah dan semua elemen stakeholder pendidikan dalam menyikapi dan melaksanakan empat peran utama Komite Sekolah, yakni sebagai (1) badan yang memberikan pertimbangan (advisory agency), (2) badan yang memberikan dukungan kepada sekolah (supporting agency), (3) badan yang mengawasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah
3
(controlling agency), dan (4) badan yang menjadi penghubung antara sekolah dengan orangtua dan masyarakat (mediator);
b. Menjadi acuan bagi KS, khususnya pengurus dan anggota, dalam menjalankan roda administrasi dan keuangan organisasinya;
c. Menyediakan alat ukur untuk menilai tingkat kinerja Komite Sekolah, baik yang dapat dilakukan oleh lembaga sendiri (self assessment) atau yang dilakukan oleh lembaga-lembaga independen;
4. Sistematika
Acuan operasional kegiatan dan indikator kinerja Komite Sekolah ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab I, pendahuluan, menjelaskan secara singkat tentang latar belakang perlunya acuan operasional ini, yang dapat digunakan baik oleh warga sekolah maupun oleh seluruh elemen stakeholder pendidikan dalam menyikapi dan melaksanakan empat peran utama Komite Sekolah. Bab II, landasan konsepsional, menjelaskan tentnag upaya peningkatan mutu pendidikan dalam era otonomi daerah, Bab III, acuan operasional tentang prasyarat organisasi, menjelaskan kembali secara lebih operasional tentang langkah-langkah pembentukan Komite Sekolah, pembentukan pengurus, persyaratan menjadi pengurus, sebagaimana telah dijelaskan dalam Buku Panduan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, dan prasyarat umum organisasi yang harus dilengkapi, termasuk AD dan ART-nya. Bab IV, acuan operasional tentang pelaksanaan peran, fungsi, dan tujuan Komite Sekolah, memberikan rambu-rambu acuan operasional kegiatan dan indikator kinerja Komite Sekolah, yang dijabarkan dari peran dan fungsi Komite Sekolah, serta diselaraskan dengan kondisi, potensi, dan tuntutan aspirasi orangtua dan masyarakat, memberikan rambu-rambu acuan tentang pelaksanaan teknis administrasi dan keuangan. Bab V, indikator kinerja Komite Sekolah, menjelaskan tentang ukuran-ukuran atau indikator teknis yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat kinerja organisasi Komite Sekolah. Bab VI, dampak kinerja Komite Sekolah terhadap kinerja sistem pendidikan nasional, memaparkan tentang dampak apa saja yang dihasilkan setelah Dewan Pendidikan melaksanakan peran dan fungsinya secara optimal. Bab VII, penutup, menjelaskan tentang beberapa harapan dengan adanya buku acuan ini.
4
BAB II LANDASAN KONSEPSIONAL KOMITE SEKOLAH Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada jalur pendidikan prasekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah (Lampiran II Kepmendiknas Nomor 004/U/2002) 1. Pembangunan Pendidikan Nasional dalam Era Otonomi Daerah Kelahiran UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta perangkat PP yang berkaitan telah membawa perubahan paradigma pengelolaan sistem pendidikan. Tentu ini akan berakibat terhadap perubahan struktural dalam pengelolaan pendidikan, dan berlaku juga pada penentuan stakeholder di dalamnya. Jika di masa lalu, stakeholder pendidikan itu sepenuhnya ada di tangan aparat pusat, maka dalam era otonomi pendidikan sekarang ini peranan sebagai stakeholder itu akan tersebar kepada berbagai pihak yang berkepentingan. Salah satu model pengelolaan pendidikan yang kini digagas Departemen Pendidikan Nasional adalah apa yang disebut manajemen berbasis sekolah (MBS). MBS merupakan salah satu model manajemen pendidikan yang berbasis pada otonomi atau kemandirian sekolah dan aparat daerah dalam menentukan arah, kebijakan, serta jalannya pendidikan di daerah masing-masing. Keberhasilan dalam pelaksanaan MBS sangat ditentukan oleh perwujudan kemandirian manajemen pendidikan pada tingkatan kabupaten atau kota. Gagasan MBS sebenarnya merupakan jawaban atas tantangan pendidikan kita ke depan. Dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, (Propenas), khususnya Bab VII (Pembangunan Pendidikan) digambarkan bahwa dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tantangan besar, di antaranya adalah sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, sistem pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan/ keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. Tantangan ini cukup relevan dengan keadaan manajemen pendidikan kita sekarang, di mana manajemen pendidikan nasional secara keseluruhan masih bersifat sentralistis sehingga kurang mendorong terjadinya demokratisasi dan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Manajemen pendidikan yang sentralistis tersebut telah menyebabkan terjadinya kebijakan yang seragam yang tidak dapat mengakomodasikan perbedaan keragaman/kepentingan daerah/sekolah/peserta didik, serta mematikan partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan.
Di samping pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan pendidikan, MBS juga bertujuan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan semua stakeholder pendidikan di sekolah, sehingga tercipta sense of belonging (rasa memiliki) dari mereka. Dengan demikian
5
akan terjadi; makin besar tingkat partisipasi dari para stakeholder, makin besar pula rasa memiliki, sehingga rasa tanggung jawab dan dedikasi juga akan meningkat. Bagi daerah, implementasi MBS ini diharapkan membawa perubahan dalam pengelolaan pendidikan. dan untuk keperluan tersebut beberapa daerah telah membentuk Kelompok Kerja dalam rangka penerapan MBS. Di Propinsi Jawa Barat misalnya, Dinas Pendidikan Propinsi telah membentuk Kelompok Kerja Implementasi MBS berdasarkan Surat Keputusan Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat No. 560/SK.658 A-Disdik/2001 tanggal 6 April 2001. Kelompok kerja tersebut bertugas melakukan pengkajian konsep MBS untuk diterapkan di Jawa Barat. Hasil Tim Pokja adalah Pedoman Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Munculnya konsep MBS memang masih harus dikaji terus menerus. Dan kajian tersebut hendaknya dimaksudkan untuk menciptakan sekolah sebagai tempat yang kondusif bagi layanan pendidikan, sehingga tercipta kemandirian sekolah dengan menggali sumber-sumber daya sekolah, yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam wujud mutu hasil belajar para siswa. Salah satu permasalahan pendidikan yang disorot dan erat kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan adalah manajemen (pengelolaan) pendidikan. Paling tidak ada tiga faktor manajemen pendidikan kita mendapat perhatian. Pertama, penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production function atau yang lebih dikenal dengan pendekatan input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi, mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan. Kedua, pendidikan nasional diselenggarakan secara birokratik-sentralistik, sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur (rantai) yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian, sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional. Ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini minim. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya lebih banyak bersifat dukungan input (baca: dana), bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas). Berkaitan dengan akuntabilitas, sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu unsur utama yang berkepentingan dengan pendidikan (stake-holder).
6
Bukti-bukti lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional tersebut, maka sebagai konsekuensi logis bagi manajemen pendidikan adalah perlu dilakukannya penyesuaian diri dari pola lama manajemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan masa depan yang lebih bernuansa otonomi dan yang lebih demokratis. Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen, dari yang lama menuju yang baru, antara lain: subordinasi menjadi otonomi, pengambilan keputusan terpusat menjadi pengambilan keputusan partisipatif, ruang gerak kaku menjadi ruang gerak luwes, pendekatan birokratik menjadi pendekatan profesional, sentralistik menjadi desentralistik, diatur menjadi motivasi diri, overregulasi menjadi deregulasi, mengontrol menjadi mempengaruhi, mengarahkan menjadi memfasilitasi, menghindari risiko menjadi mengelola risiko, mengunakan uang semuanya menjadi menggunakan uang secara efisien, individual yang cerdas menjadi teamwork yang cerdas, informasi terpribadi, menjadi informasi terbagi. (Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, 2002:1-7). Munculnya konsep MBS memang menjadi suatu kebutuhan bagi sekolah atas berbagai perubahan yang terjadi selama ini. Ada kebutuhan yang terasa mendesak untuk mengkaji kembali fungsi sekolah. Pertama, pada saat timbul perubahan cepat yang terjadi saat ini, maka kumpulan pengetahuan dan pengalaman masa lampau, yang digunakan untuk membimbing anak-anak, ternyata tidak dapat memenuhi harapan untuk mencapai tujuan tersebut. Sesungguhnya orang tua sering kali tidak merasa pasti dibandingkan dengan putra-putranya. Demikian pula keadaan bagi komunitas orang dewasa pada umumnya. Nilai-nilai tradisional dan kebiasaan yang diwarisi kenyataannya telah kehilangan otoritas terhadap anak-anak muda, dan sebagai suatu bimbingan untuk mengambil tindakan yang tepat di dalam suatu lingkungan yang sedang mengalami perubahan ternyata juga tidak memadai. Karena keterbatasan atas kemampuan yang dimiliki orang tua inilah, akibatnya kita tergantung dari lembaga-lembaga pendidikan formal. Kedua, sekolah sendiri hendaknya menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa pengetahuan baru yang menembus keluar dinding yang membatasinya tidak saja mencapai dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan apa yang dikuasai oleh sekolah, melainkan juga jauh lebih penting bagi kehidupan riil kliennya (siswa). Dalam hubungan itu, sekolah tidak saja harus memperbaharui pengetahuan yang telah dimiliki, tetapi juga harus dapat menyesuaikan diri terhadap fungsi baru cara mengajar anak-anak agar mereka dapat menguasai serta memanfaatkan dengan sebaik-baiknya sejumlah pengetahuan yang akan mereka jumpai di dalam kehidupan sehari-hari di luar lingkungan sekolah. Ketiga, di dalam kegiatan persekolahan dan di dalam pelaksanaan pembaharuan sekolah yang diperlukan adalah kemampuan guru. Kemampuan guru ini penting, mengingat guru sebagai ujung tombak pendidikan di sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam kaitannya dengan proses pembelajaran siswa. Dengan tantangan dan peluang tersebut, sekolah diharapkan untuk semakin dapat mengoptimalkan pemanfaatan semua sumber daya yang ada. Sekolah juga dapat mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya kepada peserta didik, sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Bertolak dari ini semua, manajemen berbasis sekolah yang diterapkan dapat memandirikan dan memberdayakan sekolah, melalui pemberian kewenangan (otonomi).
7
Pemindahan wewenang ke tingkat sekolah, berdasarkan pengalaman beberapa negara, cenderung akan menambah variasi antarsekolah dan/atau antardaerah dalam penyelenggaraan mutu proses pembelajaran, karena kemampuan fasilitas dan SDM yang berlainan. Di samping itu, pemindahan kewenangan tersebut juga akan dapat menimbulkan potensi konflik baru antarguru dan antara guru dengan kepala sekolah. Hal ini dapat muncul dimungkinkan karena pengelolaan pendidikan di sekolah makin transparan dan efisien serta efektif, sehingga baik antar guru atau antara guru dengan kepala sekolah terjadi kompetisi. Tumbuh berbagai wacana baru tentang pendidikan di sekolah. Bahkan potensi itu juga terjadi pada level antara sekolah dan masyarakat sejalan dengan efek akuntabilitas dan rentang pengawasan (span of control) yang semakin pendek. Erat kaitannya dengan peranan kepala sekolah, kewenangan yang diberikan kepada sekolah mengakibatkan kepala sekolah memiliki peranan yang krusial dan kuat dalam keputusan politik pendidikan di sekolah. Dampak yang terjadi adalah skill, wawasan, kemampuan analisis dari kepala sekolah makin bervariasi. Kemampuan sekolah ini tentu akan berdampak pula pada peningkatan efek positif terhadap prestasi belajar murid sebagai akibat dari tumbuhnya etos kerja baru dalam sekolah. Kewenangan sekolah memungkinkan pula terjadinya peningkatan kinerja lembaga pendidikan sekolah sehingga perlu adanya Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Adanya kelembagaan sebagai pengontrol peningkatan mutu pendidikan di sekolah memang membutuhkan adanya Peraturan Daerah (Perda). Tak jarang akibat dari pengelolaan pendidikan ini, potensi konflik kepentingan antara aparat daerah dengan aparat pusat terjadi. Karena itu, perlu dipahami bahwa pelaksanaan otonomi daerah bidang pendidikan ini tidak berarti akan menghabiskan seluruh fungsi dan peran yang selama ini dilakukan oleh Pusat. Pemerintah pusat dapat lebih berperan dalam menghasilkan kebijaksanaan mendasar dan strategis yang berlingkup nasional (nation-wide) bahkan yang menyangkut hubungan antarbangsa. Pemerintah pusat masih akan sangat berperan dalam menghasilkan kebijaksanaan nasional sebagai landasan bagi setiap daerah otonom untuk menyusun kebijaksanaan daerah masing-masing. Kebijaksanaan nasional ini dikembangkan dan dirumuskan berdasarkan penelitian, pengembangan dan analisis kebijakan yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Kebijakan nasional juga dikembangkan atas dasar perbandingan dengan negara lain agar Indonesia tidak tertinggal dalam percaturan global.
Salah satu kebijaksanaan penting pemerintah pusat adalah penetapan standar-standar minimum dalam rangka mengendalikan mutu pendidikan secara nasional (national benchmarking). Fungsi ini antara lain diwujudkan melalui penetapan standar minimal sarana dan prasarana, jumlah dan kualitas SDM, proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah, serta standar minimal hasil-hasil pendidikannya. Pengendalian mutu menyangkut dua aspek, yaitu administratif --yakni perimbangan dalam alokasi sumber daya pendidikan-- serta aspek substansi-- yaitu pencapaian mutu hasil pendidikan. Pertama, secara administratif, Pemerintah akan berperan dalam mengatur aliran dana publik (public outlay) dari sumber-sumber yang ada kepada lembaga-lembaga pendidikan yang paling membutuhkan, melalui sistem subsidi. Berdasarkan standar-standar pendidikan yang ditetapkan (seperti standar pelayanan sekolah, standar SDM, standar sarana dan prasarana, dsb.) pemerintah
8
memonitor dan memetakan sekolah atau daerah. Berdasarkan peta ini dapat diketahui sekolah atau daerah mana yang belum memenuhi standar karena pendapatan daerah yang kurang. Berdasarkan peta tersebut pemerintah mengatur aliran subsidi (public outlay) bagi daerah atau sekolah agar masing-masing dapat memenuhi standar paling tidak mencapai standar minimum yang telah ditetapkan. Kedua, secara substansi akan menyangkut mutu program dan hasil pendidikan. Mutu pendidikan perlu di dimonitor oleh pemerintah di antaranya dengan mendayagunakan lembaga profesional bidang pengujian. Untuk mengendalikan aspek mutu ini, Pemerintah perlu menetapkan standar materi kurikulum (material standard), standar kompetensi guru (teacher competency standard), dan standar prestasi siswa (performance standard). Dalam hal pelaksanaan kurikulum sekolah serta proses pembelajaran harus sepenuhnya diserahkan kepada kreativitas dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap daerah atau sekolah yang bersangkutan dalam mencapai standar itu. Untuk memacu pencapaian standar itu, pemerintah bisa menerapkan sistem ganjaran (reward) atau hukuman (punishment) yang pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing daerah otonom atau sekolah. Sementara itu pengendalian aspek administratif (misalnya dalam penempatan guru, distribusi buku dan alat pelajaran, penataran guru, dsb.) dilakukan oleh Pemerintah Daerah, agar rentang pengawasan tidak terlalu jauh. Pada tingkatan sekolah, pengendalian mutu pendidikan juga difungsikan melalui lembaga sejenis Dewan Pendidikan Daerah (Board of Education) sebagai lembaga akuntabilitas yang keanggotaannya terdiri dari pembayar pendidikan seperti orang tua murid, pemerintah daerah, pemerintah pusat, serta pihak-pihak lain yang juga memberikan kontribusi nyata terhadap pendidikan. Dalam mekanisme ini, sekolah harus mempertanggungjawabkan hasil-hasil pendidikan yang dicapai kepada stakeholder pendidikan atau semua pihak secara proporsional sesuai dengan kontribusi masing-masing terhadap penyelenggaraan pendidikan --misalnya orang tua murid, pemerintah daerah, organisasi sosial, dan sebagainya yang benar-benar memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan. Salah satu implikasi penting yang memerlukan perhatian serius kita semua adalah bahwa “semua anak usia sekolah adalah anak bangsa dan anak dari semua orang tua”. Semua anak harus memiliki kesempatan memperoleh pendidikan dan tidak menghadapi kendala untuk bersekolah. Tidak semua orang tua harus membayar biaya pendidikan karena kemampuannya berbeda-beda, namun semua anak harus bisa bersekolah. Dengan demikian, maka suatu sistem pajak daerah perlu segera dipertimbangkan penerapannya dalam rangka menambah kemampuan anggaran daerah untuk menyelenggarakan pendidikan. Dalam kaitan persoalan di atas, munculnya konsep MBS dapat dipandang sebagai langkah untuk meningkatkan otonomi (kemandirian) dan profesionalisasi setiap satuan pendidikan (sekolah). Keberhasilan MBS tentu dapat ditentukan dengan meningkatnya partisipasi masyarakat, dengan mengakomodasi pandangan, aspirasi, dan menggali potensi masyarakat untuk menjamin demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas. Keberadaan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan/sekolah sangat mendukung pelaksanaan manajemen berbasis sekolah (MBS).
9
2. Komite Sekolah Mewadahi dan Menyalurkan Aspirasi dan Prakarsa Masyarakat Pembentukan Komite Sekolah, yang telah ditetapkan dalam Keputusan Mendiknas No.044/U/2002, merupakan amanat dari UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, dengan tujuan agar pembentukan Komite Sekolah dapat mewujudkan manajemen pendidikan yang berbasis sekolah/masyarakat (school/community-based management). Pembentukan Komite Sekolah/Madrasah menjadi lebih kuat dari aspek legalitasnya, karena telah diwadahi dalam Pasal 56 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai berikut:
(1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah;
(2) Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota yang tidak mempunyai hubungan hierarkis;
(3) Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayaan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prsasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan;
(4) Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/ madrasah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Komite Sekolah merupakan badan yang bersifat mandiri, tidak mempunyai hubungan hierarkis dengan satuan pendidikan maupun lembaga pemerintah lainnya. Posisi Komite Sekolah, satuan pendidikan, dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya mengacu pada kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pembentukan Komite Sekolah bertujuan yaitu: (a) mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan dan program pendidikan di satuan pendidikan; (b) meningkatkan tanggung jawab dan peran serta aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan; (c) menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan. Peran yang dijalankan Komite Sekolah adalah sebagai pemberi pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan. Badan tersebut juga berperan sebagai pendukung baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. Di samping itu juga Komite Sekolah berperan sebagai pengontrol dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan, serta sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan.
10
Untuk menjalankan perannya itu, Komite Sekolah memiliki fungsi yaitu mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Badan itu juga melakukan kerja sama dengan masyarakat, baik perorangan maupun organisasi, dunia usaha dan dunia industri dan pemerintah, berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Fungsi lainnya adalah menampung dan menganalisis aspirasi, pandangan, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat. Di samping itu, Komite Sekolah adalah memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai kebijakan dan program pendidikan; kriteria kinerja satuan pendidikan; kriteria tenaga kependidikan, khususnya guru/tutor dan kepala satuan pendidikan; kriteria fasilitas pendidikan; dan hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan. Komite Sekolah juga berfungsi dalam mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan dan menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. Sementara itu, anggota Komite Sekolah dari unsur masyarakat dapat berasal dari perwakilan orang tua/wali peserta didik berdasarkan jenjang kelas yang dipilih secara demokratis; tokoh masyarakat (ketua RT/RW/RK, kepala dusun, ulama, budayawan, pemuka adat); anggota masyarakat yang mempunyai perhatian atau dijadikan figur dan mempunyai perhatian untuk meningkatkan mutu pendidikan; pejabat pemerintah setempat (Kepala Desa/Lurah, Kepolisian, dan instansi lain); dunia usaha/industri (pengusaha industri, jasa, asosiasi, dan lain-lain); pakar pendidikan yang mempunyai perhatian pada peningkatan mutu pendidikan; organisasi profesi tenaga pendidikan (PGRI, ISPI, dan lain-lain); perwakilan siswa bagi tingkat SLTP/SMU/SMK yang dipilih secara demokratis berdasarkan jenjang kelas; dan perwakilan forum alumni SD/SLTP/SMU/SMK yang telah dewasa dan mandiri. Anggota Komite Sekolah yang berasal dari unsur dewan guru, yayasan/lembaga penyelenggara pendidikan, Badan Pertimbangan Desa sebanyak-banyaknya berjumlah tiga orang. Jumlah anggota Komite Sekolah sekurang-kurangnya 9 (sembilan) orang dan jumlahnya harus gasal. Syarat-syarat, hak, dan kewajiban, serta masa keanggotaan Komite Sekolah ditetapkan di dalam AD/ART. Pengurus Komite Sekolah ditetapkan berdasarkan AD/ART yang sekurang-kurangnya terdiri atas seorang ketua, sekretaris, dan bendahara. Apabila dipandang perlu, kepengurusan dapat dilengkapi dengan bidang-bidang tertentu sesuai kebutuhan. Selain itu dapat pula diangkat petugas khusus yang menangani urusan administrasi. Pengurus dipilih dari dan oleh anggota secara demokratis. Khusus jabatan ketua Komite Sekolah bukan berasal dari kepala satuan pendidikan. Syarat-syarat, hak, dan kewajiban, serta masa bakti kepengurusan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah ditetapkan di dalam AD/ART.
Pembentukan Komite Sekolah harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan demokratis. Transparan artinya pembentukan Komite Sekolah dilaksanakan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan
11
panitia persiapan, proses sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses seleksi calon anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, dan penyampaian hasil pemilihan. Akuntabel artinya proses pembentukan Komite Sekolah harus dapat dipertanggungjawaban kepada masyarakat. Demokratis artinya proses pemilihan anggota dan pengurus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Jika dipandang perlu pemilihan anggota dan pengurus dapat dilakukan melalui pemungutan suara. Pembentukan komite Sekolah diawali dengan pembentukan panitia persiapan yang dibentuk oleh kepala satuan pendidikan dan/atau oleh atau oleh masyarakat. Panitia persiapan berjumlah sekurang-kurangnya 5 (lima) orang yang terdiri atas kalangan praktisi pendidikan (seperti guru, kepala satuan pendidikan, penyelenggara pendidikan), pemerhati pendidikan (LSM peduli pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dunia usaha dan industri), dan orang tua peserta didik. Melalui pelaksanaan MBS, keberadaan, peran, dan fungsi Komite Sekolah diharapkan mampu meningkatkan kinerja pengelolaan pendidikan di sekolah, sehingga mutu pendidikan menjadi menjadi meningkat secara optimal.
12
BAB III ACUAN OPERASIONAL PEMBENTUKAN, PEMILIHAN PENGURUS, DAN PRASYARAT ORGANISASI KOMITE SEKOLAH Dengan diterbitkannya Keputusan ini (Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah), Keputusan Menteri Pedidikan dan Kebudayaan Nomor 0293/U/1993 Tahun 1993 tentang Pembentukan Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3) dinyatakan tidak berlaku (Pasal 3 Kepmendiknas Nomor 044/U/2002)
1. Pembubaran BP3 atau POMG dan Pembentukan Komite Sekolah
Pasal 3 Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah memang dengan tegas menyatakan bahwa organisasi BP3 tidak berlaku lagi secara otomatis. Namun demikian, secara faktual dapat diketahui bahwa proses pembentukan Komite Sekolah melalui dua model: (1) mengaitkan dengan proses pembubaran BP3 atau POMG dengan pembentukan KS, (2) tidak mengaitkan antara pembentukan KS dngan pembubaran BP3 atau POMG, dengan alasan karena setelah Kepmendikas diterbitkan, secara otomatis BP3 atau POMG dinyatakan tidak berlaku lagi. Walaupun bagaimana, kedua model itu dapat saja diterima sebagai model yang dapat dibenarkan. Misalnya sekolah membentuk KS diawali dengan memasukkan anggota BP3 atau POMG sebagai panitia pembentukan. Setelah panitia berhasil membentuk KS, maka BP3 atau POMG dibubarkan secara resmi, dan kemudian dilakukan acara pelantikan pengurus KS. Di sini jelas bahwa proses pembentukan KS melalui satu estafet pembubaran POMG dan dilanjutkan dengan pengesahan pengurus. Satu model lagi, sekolah membentuk panitia persiapan tanpa melibatkan BP3, karena secara organisatoris BP3 atau POMG harus segera dibubarkan. Meskipun demikian, siapa yang duduk dalam panitia pembentukan dapat saja dipilih dari angggota BP3 yang dinilai aktif.
2. Pembentukan Panitia Persiapan
Pembentukan Komite Sekolah diawali dengan pembentukan Panitia Persiapan. Panitia ini dibentuk oleh kepala satuan pendidikan dan/atau oleh masyarakat, dengan mempertimbangkan keterwakilan unsur-unsur dalam masyarakat atau stakeholder pendidikan. Dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 disebutkan bahwa „Panitia Persiapan berjumlah 5 (lima) orang dari kalangan praktisi pendidikan (sperti guru, kepala satuan pendidikan, penyelenggara pendidikan), pemerhati pendidikan (LSM peduli pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dunia usaha dan dunia industri), dan orangtua siswa’ Panitia inilah yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mempersiapkan serta melaksanakan proses pembentukan Komite Sekolah secara demokratis, transparan, dan akuntabel, sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan dalam Kepmendiknas tersebut.
13
3. Tujuh Langkah Mekanisme Pembentukan Komite Sekolah
Secara ideal, mekanisme pembentukan Komite Sekolah sebenarnya telah dijelaskan di dalam Buku Pedoman Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, yang meliputi 7 (tujuh) langkah sebagai berikut: Pertama, mengadakan sosialisasi kepada orangtua dan masyarakat sekitar tentang rencana pembentukan Komite Sekolah. Langkah ini amat penting agar masyarakat dapat memberikan saran dan masukan tentang apa itu Komite Sekolah, dan siapa yang cocok untuk menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah. Kedua, merumuskan kriteria pengurus dan anggota Komite Sekolah. Proses inti dimaksudkan agar dapat diperoleh calon pengurus dan anggota Komite Sekolah yang berkualitas. Ketiga, menyeleksi calon pengurus dan anggota berdasarkan criteria yang telah ditentukan. Keempat, mengumumkan nama-nama calon pengurus dan anggota kepada masyarakat melalui media yang relevan. Kelima, menetapkan daftar nama calon pengurus dan anggota, setelah nama-nama yang diumumkan tersebut tidak mendapatkan keberatan dari masyarakat. Keenam, mengadakan rapat untuk memfasiltiasi proses pemilihan pengurus dan anggota Komite Sekolah secara transparan dan demokratis. Ketujuh, mengusulkan hasil pemilihan pengurus dan anggota Komite Sekolah kepada kepala sekolah untuk diterbitkan surat keputusan. Catatan: Jika ketujuh langkah pembentukan Komite Sekolah tersebut diikuti, maka diharapkan proses pembentukan Komite Sekolah dapat menghasilkan Komite Sekolah yang benar-benar aspiratif, kredibel, dan akuntabel, dan diharapkan mampu memberikan peran secara maksimal bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Sudah barang tentu, ketujuh langkah tersebut bukan sebagai harga mati. Ide-ide kreatif yang mungkin muncul dalam pembentukan Komite Sekolah yang tidak sampai mengurangi ketentuan yang ada, justru sangat dihargai.
4. Prinsip Yang Harus Dianut Dalam Proses Pembentukan Komite Sekolah
Dua prinsip yang harus dipegang dalam proses pembentukan Komite Sekolah, yakni:
a. Dilaksanakan secara transparan, akuntabel, dan demokratis.
b. Komite Sekolah yang dibentuk harus dapat menjadi mitra sejajar dengan satuan pendidikan.
14
5. Penerbitan Surat Keputusan Kepala Satuan Pendidikan dan Acara Seremonial Dalam Penetapan dan Pengesahan Komite Sekolah
Dalam Kepemendiknas Nomor 044/U/2002 ditegaskan bahwa ‘Komite Sekolah ditetapkan untuk pertama kalinya dengan Surat Keputusan kepala satuan pendidikan, selanjutnya diatur dalam AD dan ART’ Demikian ketentuan legal yang diatur dalam pedoman umum. Namun, perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa surat keputusan tersebut harus benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat, dan bukan aspirasi kepala sekolah. Selain itu, jika ada sekolah yang justru dapat melaksanakan cara penetapan dan pengesahan Komite Sekolah yang dipandang jauh lebih baik, misalnya dengan Akte Notaris, atau cara-cara lain yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, maka hal itu pun diserahkan kepada masing-masing sekolah. Bahkan, jika setelah diterbitkan Surat Keputusan tersebut juga diadakan acara pengesahan atau pelantikan, baik yang dilakukan oleh pejabat setingkat bupati/walikota atau camat, atau pejabat dinas yang terkait, maka hal tersebut sepenuhnya diserahkan kepada Komite Sekolah dan kepala sekolah itu sendiri. Yang perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah, jangan sampai keberadaan Komite Sekolah menjadi badan subordinasi (di bawah kekuasaan) dari pihak yang melantiknya. Kalau terjadi seperti ini, maka Komite Sekolah akan menjadi badan yang tidak independen lagi. Sudah ditegaskan di dalam UU Nomor 20 Taun 2003 bahwa ‘Komite Sekolah/Madrasaah, sebagai lembaga mandiri ...’ (Pasal 56 ayat 3). 6. Kepala Sekolah dan Pejabat Pemerintah Dalam Bidang Pendidikan Tidak Dapat Menjadi Ketua Komite Sekolah Komite Sekolah sama sekali bukanlah lembaga birokrasi baru. Oleh karena itu, kepala sekolah dan pejabat birokrasi dalam bidang pendidikan di daerah itu tidak boleh menjadi ketua Komite Sekolah. Ketua Komite Sekolah harus dipilih secara demokratis (mohon dapat dirujuk kepada tujuh langkah mekanisme pembentukan KS), dan oleh karena itu dapat dilakukan dengan cara pemungutan suara terbanyak (voting). Catatan: Komite Sekolah versi JPS berbeda sama sekali dengan KS versi Kepmendiknas Nomor 044/U/2002, antara lain dalam hal unsur ketuanya. Dalam KS versi JPS, kepala sekolah diangkat menjadi ketuanya, sedang dalam KS versi Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 sama sekali tidak demikian.
7. Tidak Ada Badan Pengawas atau Badan Pembina Dalam Komite Sekolah
Tidak adanya badan pengawas dalam struktur organisasi Komite Sekolah, karena diharapkan Komite Sekolah secara langsung dapat diawasi oleh masyarakat. Kepala Sekolah juga bukan sebagai Pembina, karena sekolah dan Komite Sekolah merupakan dua organisasi yang posisinya sejajar dengan semangat kemitraan. Kepala Sekolah tidak dapat mendekte dan memberikan komando atau arahan kepada Komite Sekolah. Demikian juga sebaliknya, ketua Komite Sekolah juga tidak dapat memberikan perintah kepala kepala sekolah. Kepala sekolah dan Ketua Komite
15
Sekolah akan duduk sama rendah dan beridiri sama tinggi untuk bersama-sama berusaha meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
8. Mekanisme Pemilihan Pengurus dan Anggota Komite Sekolah
Perhatikan kembali langkah kedua dan langkah ketiga mekanisme pembentukan Komite Sekolah. Langkah kedua, merumuskan kriteria pengurus dan anggota Komite Sekolah. Proses inti dimaksudkan agar dapat diperoleh calon pengurus dan anggota Komite Sekolah yang benar-benar aspiratif dan berkualitas. Dilanjutkan dengan langkah ketiga, yakni menyeleksi calon pengurus dan anggota berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Seleksi ini dilaksanakan secara demokratis dan transparan. Dalam hal ini, jika diperlukan, voting sama sekali tidak menjadi hal yang ditabukan.
9. Yang Dapat Menjadi Pengurus dan Anggota Komite Sekolah
Dalam Buku Pedoman Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dijelaskan bahwa kepengurusan dan keanggotaan Komite Sekolah berasal dari elemen masyarakat sebagai berikut:
a. Perwakilan orangtua/wali peserta didik
b. Tokoh masyarakat
c. Anggota masyarakat yang memiliki perhatian terhadap pendidikan
d. Pejabat pemerintah setempat
e. Dunia usaha dan dunia industri (DUDI)
f. Pakar pendidikan yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan
g. Organisasi profesi tenaga kependidikan
h. Perwakilan siswa, dan atau
i. Perwakilan alumni untuk KS dan perwakilan Komite sekolah yang disepakati
Ketentuan tersebut sudah barang tentu juga bukan harga mati. Mengapa? Di daerah terpencil, elemen masyarakatnya mungkin tidalah selengkap di daerah yang sudah maju. Dengan kondisi seperti itu, tokoh masyarakat biasanya direpresentasikan oleh kepala suku, atau tokoh adat, atau bahkan kepala desa, sementara elemen lainnya tidak ada. Oleh karena itu, acuan operasional kegiatan dan indikator kinerja Komite Sekolah ini masih memberikan keleluasaan untuk menyesuaikan antara ketentuan dan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
10. Anggota Masyarakat Yang Bertempat Tinggal di Daerah Lain Dapat Menjadi Anggota Komite Sekolah
Hal ini amat tergantung dari hasil kesepakatan dalam musyawarah calon anggota dan pengurus Komite Sekolah. Kepmendiknas menyerahkan hal ini sepenuhnya kepada orangtua dan masyarakat. Jika tokoh masyarakat setempat yang kebetulan bertempat tinggal di daerah provinsi, atau kabupaten lain, atau kecamatan lain, memang benar-benar diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan, maka hal ini sudah selayaknya dapat dimasukkan dalam pengurus dan anggota Komite Sekolah.
16
11. Komite Sekolah Harus Memiliki AD dan Atau ART Atau Pedoman Dalam Bentuk Lainnya Kenyataan di lapangan dijumpai banyak Komite Sekolah yang telah dibentuk tidak segera menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Ada pula kenyataan yang ditemukan di lapangan bahwa Anggaran Dasar Komite Sekolah telah diseragamkan oleh Dinas Pendidikan. Bahkan ada yang masih menggunakan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga BP3 yang notebene juga diseragamkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada saat itu. Ketiga temuan ini sudah barang tentu tidak dapat dibenarkan lagi. Pengurus dan anggota Komite Sekolah yang telah dipilih secara demokratis harus segera menyusun AD dan ART atau dalam bentuk ketentuan lain, misalnya statuta atau lainnya. Untuk ini, pada umumnya ada tim kecil yang diberi tugas untuk menyusun buram awalnya, kemudian dibahas dalam rapat-rapat pleno Komite Sekolah. Meski dalam bentuk yang amat sederhana, Komite Sekolah harus segera menyusun AD dan ART.
12. Yang Perlu Diatur Dalam Anggaran Dasar (AD) Dan Anggaran Rumah Tangga (ART)?
Berdasarkan Kepmendiknas Nomor 044/U/2002, Anggaran Dasar (AD) Komite Sekolah sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama dan tempat kedudukan
b. Dasar, tujuan, dan kegiatan
c. Keanggotaan dan kepengurusan
d. Hak dan kewajiban anggota dan pengurus
e. Keuangan
f. Mekanisme kerja dan rapat-rapat
g. Perubahan AD dan ART, serta pembubaran organisasi.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa Anggaran Rumah Tangga (ART) sekurang-kurangnya memuat:
a. Mekanisme pemilihan dan penetapan anggota dan pengurus
b. Rincian tugas Komite Sekolah
c. Mekanisme rapat
d. Kerjasama dengan pihak lain
e. Ketentuan penutup
13. Nama Lain AD dan ART
Dalam Kepmendiknas, hal itu tidak diatur. Kembali kepada prinsip sebagai acuan, maka Komite Sekolah dapat menggunakan nama lain asalkan dengan makna dan tujuan yang sama, yakni sebagai pedoman dasar dalam pelaksanaan kegiatan organisasi Komite Sekolah. Apakah akan diberi nama Ketentuan Dasar, atau statuta, atau nama lainnya, dapat saja dilakukan dengan syarat memuat hal-hal yang telah disebutkan di atas. Sebagai satu organisasi, Komite Sekolah harus memilikinya.
17
14. Proses Penyusunan AD dan ART
Tugas pertama pengurus Komite Sekolah adalah menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga DPKS. Tugas ini sama sekali tidak dapat diserahkan kepada pihak lain. Dalam praktik, konsep AD dan ART dapat disusun seseorang, atau tim yang dibentuk untuk membuat konsep, atau bahkan diserahkan kelompok ahli. Namun konsep itu harus dibahas secara terbuka dalam satu acara rapat khusus untuk itu. Pada prinsipnya AD dan ART harus disusun dari, oleh, dan untuk anggota dan pengurus Komite Sekolah. Contoh AD/ART yang ada dapat digunakan sebatas untuk digunakan sebagai bahan perbandingan dan pertimbangan. Yang penting, penyusunan AD/ART harus dilaksanakan melalui mekanisme rapat anggota lengkap. Rapat Dewan Pendidikan/Komite Sekolah yang tidak memenuhi quorum tidak dapat menghasilkan AD/ART yang sesuai dengan aspirasi orangtua dan masyarakat.
15. Perubahan Atau Amandemen AD dan ART
Sudah tentu, AD dan ART dapat diganti atau diamandemen. Semuanya tergantung pada suara terbanyak dari pengurus dan anggota Komite Sekolah. Ketentuan tentang perubahan AD dan ART dituangkan dalam Anggaran Dasar. Jika 75% pengurus dan anggota Komite Sekolah menghendaki maka AD dan ART dapat diganti atau diamandemen atau disempurnakan. Aspirasi orangtua dan masyarakat harus terwadahi dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
18
BAB IV PENJABARAN PERAN DAN FUNGSI KOMITE SEKOLAH KE DALAM KEGIATAN OPERASIONAL DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada jalur pendidikan prasekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah (Lampiran Kepmendiknas Nomor 004/U/2002) Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan ( Pasal 56 ayat 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) Di dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah hanya disebutkan tentang tujuan, peran dan fungsi Komite Sekolah. Sedang kegiatan operasional sehari-hari Komite Sekolah belum disebutkan secara jelas dan eksplisit. Dalam bab ini akan dijelaskan tentang tujuan, peran, dan fungsi Komite Sekolah sebagaimana telah dijelaskan Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, hubungan antara peran dan fungsi Komite Sekolah ke dalam kegiatan operasional yang harus ditunaikan oleh Komite Sekolah.
1. Tujuan Komite Sekolah
Dijelaskan dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah bahwa tujuan Komite Sekolah adalah:
a. Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan (di daerah kabupaten/kota untuk Dewan Pendidikan, di satuan pendidikan untuk Komite Sekolah).
b. Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam penyeleng-garaan di satuan pendidikan.
c. Menciptakan suasana dan kondisi transparansi, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu (di daerah kabupaten/kota untuk Dewan Pendidikan, di satuan pendidikan untuk Komite Sekolah).
Untuk mencapai tujuan tersebut, Komite Sekolah harus melaksanakan peran dan fungsinya secara maksimal melalui berbagai kebijakan, program, dan kegiatan-kegaitan operasional yang kreatif dan inovatif.
19
2. Penjabaran Peran Konite Sekolah Ke Dalam Fungsi Komite Sekolah
Fungsi Komite Sekolah merupakan penjabaran dari peran Komite Sekolah. Hubungan antara keduanya dapat dijelaskan dalam Tabel 1 berikut: Tabel 1 Penjabaran peran Komite Sekolah ke dalam fungsi Komite Sekolah
No.
Peran KS
Fungsi KS
1.
Pemberi pertimbangan (advisory)
1.1. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai: (1) kebijakan dan program pendidikan, (2) RAPBS, (3) kriteria kinerja satuan pendidikan, (4) kriteria tenaga kepdndidikan, (5) kriteria fasilitas pendidikan, dan (6) hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan.
2.
Pendukung (supporting)
2.1. Mendorong orangtua dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan
2.2. Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan
2.3. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu
3.
Pengontrol (controlling)
3.1. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan
4.
Mediator
4.1. Melakukan kerjasama dengan masyarakat
4.2. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat
Sumber: Ditabulasi dari Buku Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, hal. 22 – 23
3. Penjabaran Peran dan Fungsi Komite Sekolah Ke Dalam Kegiatan Operasional Komite Sekolah
Peran dan fungsi KS tersebut dijabarkan secara lebih rinci ke dalam kegiatan operasional yang akan dilaksanakan oleh KS, sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 2.
20
Tabel 2 Penjabaran Peran dan Fungsi Komite Skeolah Ke Dalam Kegiatan Operasional Komite Sekolah
No.
Peran KS
Fungsi KS
Kegiatan Operasional KS
1.
Pemberi pertimbangan (advisory)
1.1. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai: (1) kebijakan dan program pendidikan, (2) RAPBS, (3) kriteria kinerja satuan pendidikan, (4) kriteria tenaga kepdndidikan, (5) kriteria fasilitas pendidikan, dan (6) hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan.
1.1.1. Mengadakan pendataan kondisi sosial ekonomi keluarga peserta didik dan sumber daya pendidikan dalam masyarakat 1.1.2. Menganalisis hasil pendataan sebagai bahan pemberian masukan, pertimbangan, dan atau rekomendasi kepada sekolah 1.1.3. Menyampaikan masukan, pertimbangan, dan atau rekomendasi secara tertulis kepada sekolah, dengan tembusan kepada Dinas Pendidikan dan Dewan Pendidikan. 1.1.4. Memberikan pertimbangan kepada sekolah dalam rangka pengembangan kurikulum muatan lokal 1.1.5. Memberikan pertimbangan kepada sekolah untuk meningkatkan proses pembelajaran dan pengajaran yang menyenangkan (PAKEM) 1.1.6. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada sekolah dalam penyusunan visi, misi, tujuan, kebijakan, dan kegiatan sekolah
2.
Pendukung (supporting)
2.1. Mendorong orangtua dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan
2.1.1. Mengadakan rapat atau pertemuan secara berkala dan insidental dengan orangtua dan anggota masyarakat
2.1.2. Mencari bantuan dana dari dunia usaha dan industri untuk biaya pembebasan uang sekolah bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu
2.1.3. Menghimbau dan mengadakan pendekatan kepada orangtua dan masyarakat yang dipandang mampu untuk dapat menjadi narasumber dalam kegiatan intrakurikuler bagi peserta didik
2.1.4. Memberikan dukungan untuk pemeriksaan
21
kesehatan anak-anak
2.1.5. Memberikan dukungan kepada sekolah untuk secara preventif dan kuratif dalam memberantas penyebarluasan narkoba di sekolah
2.1.6. Memberikan dukungan kepada sekolah dalam pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.
2.2. Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan
2.2.1. Memverifikasi RAPBS yang diajukan oleh kepala sekolah
2.2.2. Memberikan pengesahan terhadap RAPBS setelah proses verifikasi dalam rapat pleno KS
2.2.3. Memotivasi masyarakat kalangan menengah ke atas untuk meningkatkan komitmennya bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah
2.2.4. Membantu sekolah dalam rangka penggalangan dana masyarakat untuk pengumpulan dana abadi.
2.1. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu
2.1.1. Melaksanakan konsep subsidi silang dalam penarikan iuran dari orangtua siswa.
2.1.2. Mengadakan kegiatan inovatif untuk meningkatkan kesadaran dan komitmen masyarakat, misalnya panggung hiburan untuk sekolah dan masyarakat.
2.1.3. Membantu sekolah dalam menciptakan hubungan dan kerjasama antara sekolah dengan orangtua dan masyarakat.
3.
Pengontrol (controlling)
3.1. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan
3.1.1. Mengadakan rapat atau pertemuan secara rutin atau insidental dengan kepala sekolah dan dewan guru 3.1.2. Sering mengadakan kunjungan atau silaturahmi ke sekolah, atau dengan dewan guru di sekolah 3.1.3. Meminta penjelasan kepada sekolah tentang hasil belajar siswa 3.1.4. Bekerjasama dengan sekolah dalam kegiatan penelusuran alumni
4.
Mediator
4.1. Melakukan kerjasama dengan masyarakat
4.1.1. Membina hubungan dan kerjasama yang harmonis dengan seluruh stakeholder
22
pendidikan, khusnya dengan DUDI
4.1.2. Mengadakan penjajagan tentang kemungkinan untuk dapat mengadakan kerjasama atau MOU dengan lembaga lain untuk memajukan sekolah
4.2. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat
4.2.1. Menyebarkan kuesioner untuk memperoleh masukan, saran, dan ide kreatif dari masyarakat
4.2.2. Menyampaikan laporan kepada sekolah secara tertulis, tentang hasil pengamatannya terhadap sekolah.
Untuk dapat melaksanakan kegiatan operasional tersebut, Komite Sekolah memerlukan dukungan fasilitas organisasi yang memadai.
4. SDM dan Fasilitas Organisasi Komite Sekolah
Fasilitas organisasi Komite Sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan fasilitas Dewan Pendidikan. Fasilitas tersebut terdiri atas aspek sumber daya manusia, prasarana fisik kantor, administrasi dan keuangan, dan data, sebagaimana Tabel 3: Tabel 3 SDM dan Fasilitas Organisasi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
No.
Aspek
Fasilitas organisasi Komite Sekolah
1.
SDM
1.1. Pengurus dan anggota Komite Sekolah
1.2. Tenaga administrasi dan keuangan
2.
Prasarana fisik kantor
2.1. Ruang kantor (bisa di sekolah)
2.2. Meja kursi rapat
2.3. Papan tulis dan papan data
3.
Adminstrasi dan keuangan
3.1. Agenda dan fail surat keluar dan surat masuk
3.2. Daftar hadir rapat-rapat, seperti Rapat Pengurus dan Anggota
3.3. Notulen Rapat
3.4. Buku Kas
3.5. Rekening Bank
3.6. RAPBS
4.
Data dan dokumen
4.1 Dokumen AD/ART
4.2 Panduan Umum
4.3 Acuan Operasional
4.4 Kepmendiknas Nomor 044/U/2003
4.5 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
23
Sisdiknas
4.6 Data sekolah
4.7 Data orangtua siswa
4.8 Data DUDI
4.9 Data hasil belajar siswa
24
BAB V INDIKATOR KINERJA DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH DAN INSTRUMEN PENILAIAN MANDIRI ( SELF ASESSMENT) UNTUK MENILAI KINERJANYA Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengadasan, dan evaluasi program pendidikan melaui Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah (Pasal 56 ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional)
1. Kaitan Antara Peran dan Fungsi Komite Sekolah Dengan Kegiatan Operasionalnya
a. Peran dan fungsi Komite Sekolah sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya merupakan sumber rujukan utama untuk menentukan kegiatan opersional Komite Sekolah.
b. Keterlaksanaan dan keberhasilan kegiatan operasional Komite Sekolah dan ketersediaan fasilitas organisasi diukur dengan melalui infokator kinerja yang diukur dengan menggunakan kriteria tertentu.
c. Dengan kata lain, jika Komite Sekolah telah melaksanakan semua kegiatan operasional dengan sempurna, melengkapi dan mendayagunakan fasilitas organisasinya secara rutin dan optimal, maka Komite Sekolah dapat dinilai telah memiliki kinerja yang tinggi. Demikian pula sebaliknya.
2. Ukuran dan Kriteria Penentuan Keberhasilan Kinerja Komite Sekolah Pada kenyataannya, keberhasilan dalam pelaksanaan kegiatan operasional Komite Sekolah dapat diukur mulai dari peringkat yang paling rendah sampai dengan peringkat yang paling tinggi. Ukuran tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Sangat berhasil (nilai antara 90 – 100) b. Berhasil (nilai antara 70 – 89) c. Kurang berhasil (50 – 69) d. Tidak berhasil (0 – 49) Kriteria kinerja keberhasilan Komite Sekolah dapat ditentukan sebagai berikut: a. Sangat berhasil (A) 1) Kegiatan operasional dilaksanakan secara rutin 2). Kegiatan operasional dilaksanakan secara optimal 3). Hasilnya sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan b. Berhasil (B) 1) Kegiatan operasional dilaksanakan secara rutin 2). Kegiatan opearsional dilaksanakan secara optimal 3). Hasilnya kurang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan c. Cukup berhasil (C) 1) Kegiatan operasional dilaksanakan tidak secara rutin
25
2). Kegiatan opersional dilaksanakan tidak secara optimal 3). Hasilnya kurang seesuai dengan tujuan yang telah ditentukan d. Tidak berhasil (D) 1) Kegiatan operasional dilaksanakan tidak secara rutin 2). Kegiatan opersional dilaksanakan tidak secara optimal 3). Hasilnya tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan Untuk melilai ketersediaan SDM dan fasilitas organisasi dapat digunakan kriteria sebagai berikut: a. Sangat berhasil (A) 1) Fasilitas ada dan digunakan secara rutin 2). Fasiltias ada dan digunakan secara optimal 3). Hasilnya sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan b. Berhasil (B) 1) Fasilitas ada dan digunakan secara rutin 2). Fasiltias ada dan digunakan secara optimal 3). Hasilnya kurang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan c. Cukup berhasil (C) 1) Fasilitas ada dan digunakan tidak secara rutin 2). Fasiltias ada dan digunakan tidak secara optimal 3). Hasilnya kurang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan d. Tidak berhasil (D) 1) Fasilitas ada dan digunakan tidak secara rutin 2). Fasiltias ada dan digunakan tidak secara optimal 3). Hasilnya tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan 3. Pengukuran Mandiri Kinerja Komite Sekolah Berikut ini dibuatkan satu instumen penilaian yang dapat digunakan secara mandiri untuk menilai kinerja Komite Sekolah, sebagaimana contoh berikut: Tabel 4 Instrumen Penilaian Mandiri (Self Assessment) Tentang Keberhasilan Komite Sekolah A. Aspek Kegiatan Operasional Isilah pada kolom A, B, C, dan D dengan ketentuan sebagai berikut: Sangat berhasil (A) 1) Kegiatan operasional dilaksanakan secara rutin 2). Kegiatan operasional dilaksanakan secara optimal 3). Hasilnya sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan Berhasil (B) 1). Kegiatan operasional dilaksanakan secara rutin 2). Kegiatan opearsional dilaksanakan secara optimal 3). Hasilnya kurang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
26
Cukup berhasil (C) 1). Kegiatan operasional dilaksanakan tidak secara rutin 2). Kegiatan opersional dilaksanakan tidak secara optimal 3). Hasilnya kurang seesuai dengan tujuan yang telah ditentukan Tidak berhasil (D) 1). Kegiatan operasional dilaksanakan tidak secara rutin 2). Kegiatan opersional dilaksanakan tidak secara optimal 3). Hasilnya tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
Kegiatan Operasional KD
Kinerja DP
A
B
C
D
1.1.1. Mengadakan pendataan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan sumber daya pendidikan dalam masyarakat 1.1.2. Menganalisis hasil pendataan sebagai bahan pemberian masukan, pertimbangan, dan atau rekomendasi bupati/walikota dan atau dinas pendidikan kabupaten/kota 1.1.3. Menyampaikan masukan, pertimbangan, dan atau rekomendasi secara tertulis bupati/walikota dengan tembusan kepada Dinas Pendidikan 1.1.4. Memberikan pertimbangan kepada bupati/walikota dan atau dinas pendidikan dalam rangka pengembangan kurikulum muatan lokal 1.1.5. Memberikan pertimbangan kepada bupati/walikota dan atau dinas pendidikan untuk meningkatkan proses pembelajaran dan pengajaran yang menyenangkan (PAKEM) 1.1.6. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada sekolah dalam penyusunan visi, misi, tujuan, kebijakan, program dan kegiatan pendidikan di daerah kabupaten/kota 1.1.7. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada bupati/walikota dan atau dinas pendidikan tentang pelaksanaan manajemen pendidikan (ketenagaan, keuangan, fasilitas, dan data pendidikan)
Mengadakan rapat atau pertemuan secara berkala dan insidental dengan orangtua dan anggota masyarakat
Mencari bantuan dana dari dunia usaha dan industri untuk biaya pembebasan uang sekolah bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu
Menghimbau dan mengadakan pendekatan kepada orangtua dan masyarakat yang dipandang mampu untuk dapat menjadi narasumber dalam kegiatan intrakurikuler bagi peserta didik
Memberikan dukungan untuk pemeriksaan kesehatan anak-anak
Memberikan dukungan kepada sekolah untuk secara preventif dan kuratif dalam memberantas penyebarluasan narkoba di sekolah
Memberikan dukungan kepada sekolah dalam pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.
2.2.1. Memverifikasi RAPBS yang diajukan oleh kepala sekolah
2.2.2. Memberikan pengesahan terhadap RAPBS
27
setelah proses verifikasi dalam rapat pleno KS
2.2.3. Memotivasi masyarakat kalangan menengah ke
atas untuk meningkatkan komitmennya bagi
upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah
2.2.4. Membantu sekolah dalam rangka penggalangan
dana masyarakat untuk pengumpulan dana
abadi.
2.3.1. Melaksanakan konsep subsidi silang dalam
penarikan iuran dari orangtua siswa.
2.3.2. Mengadakan kegiatan inovatif untuk
meningkatkan kesadaran dan komitmen
masyarakat, misalnya panggung hiburan untuk
sekolah dan masyarakat.
2.3.3. Membantu sekolah dalam menciptakan hubungan
dan kerjasama antara sekolah dengan orangtua
dan masyarakat.
3.1.1. Mengadakan rapat atau pertemuan secara rutin
atau insidental dengan kepala sekolah dan dewan
guru
3.1.2. Sering mengadakan kunjungan atau silaturahmi
ke sekolah, atau dengan dewan guru di sekolah
3.1.3. Meminta penjelasan kepada sekolah tentang hasil
belajar siswa
3.1.4. Bekerjasama dengan sekolah dalam kegiatan
penelusuran alumni
4.1.1. Membina hubungan dan kerjasama yang
harmonis dengan seluruh stakeholder pendidikan,
khusnya dengan DUDI
4.1.2. Mengadakan penjajagan tentang kemungkinan
untuk dapat mengadakan kerjasama atau MOU
dengan lembaga lain untuk memajukan sekolah
4.2.1. Menyebarkan kuesioner untuk memperoleh
masukan, saran, dan ide kreatif dari masyarakat
4.2.2. Menyampaikan laporan kepada sekolah secara
tertulis, tentang hasil pengamatannya terhadap
sekolah.
Jumlah skor
Penilaian dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
x100
SI
SR
Indeks

 
Keterangan:
SR : skor riil
SI : skor ideal
Jika hasil A lebih dari 90 maka dari segi kegiatan operasional Komite Sekolah
dinilai SANGAT BERHASIL. Demikian seterusnya.
B. Aspek SDM dan Fasilitas Organisasi
28
Isilah pada kolom A, B, C, atau C dengan ketentuan sebagai berikut: Sangat berhasil (A) 1) Fasilitas ada dan digunakan secara rutin 2). Fasiltias ada dan digunakan secara optimal 3). Hasilnya sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan Berhasil (B) 1) Fasilitas ada dan digunakan secara rutin 2). Fasiltias ada dan digunakan secara optimal 3). Hasilnya kurang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan Cukup berhasil (C) 1) Fasilitas ada dan digunakan tidak secara rutin 2). Fasiltias ada dan digunakan tidak secara optimal 3). Hasilnya kurang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan Tidak berhasil (D) 1) Fasilitas ada dan digunakan tidak secara rutin 2). Fasiltias ada dan digunakan tidak secara optimal 3). Hasilnya tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
Fasilitas organisasi
Indokator Kinerja
A
B
C
D
1. Pengurus dan anggota Komite Sekolah
2. Tenaga administrasi dan keuangan
3. Ruang kantor (bisa di sekolah)
4. Meja kursi rapat
5. Papan tulis dan papan data
6. Agenda dan fail surat keluar dan surat masuk.
7. Daftar hadir rapat-rapat, seperti Rapat Pengurus dan Anggota
8. Notulen Rapat
9. Buku Kas
10. Rekening Bank
11. RAPBS
12. Dokumen AD/ART
13. Panduan Umum
14. Acuan Operasional
15. Kepmendiknas Nomor 044/U/2003
16. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
17. Data sekolah
18. Data orangtua siswa
19. Data DUDI
20. Data hasil belajar siswa
Jumlah skor
29
Penilian menggunakan rumus sebagai berikut:
x100
SI
SR
Indeks

 
Keterangan:
SR : skor riil
SI : skor ideal
Juka hasil A lebih dari 90 maka dari segi fasilitas organisasi Komite Sekolah
dapat dinilai SANGAT BERHASIL. Demikian seterusnya.
BAB VI
30
DAMPAK KINERJA KOMITE SEKOLAH TERHADAP KINERJA SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL Kualitas pendidikan untuk masa mendatang lebih bergantung pada komitmen daerah -- dalam hal ini termasuk komitmen orangtua dan masyarakat – untuk merumuskan visi dan misi [pendidikan]di daerahnya masing-masing (Prof. Suyanto, Ph.D, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta) Jika Komite Sekolah sudah dapat melaksanakan keempat perannya itu dengan baik, maka diasumsikan bahwa Komite Sekolah tersebut dapat memberikan dampak terhadap kinerja sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, kiprah Komite Sekolah harus menyentuh seluruh aspek kinerja dalam kaitannya dengan keberhasilan sistem pendidikan nasional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Berbagai indikator yang dapat dimonitor secara berkelanjutan sebagai bagian dari kinerja Komite Sekolah dikelompokkan ke dalam tiga prioritas kebijakan pendidikan, yaitu sebagai berikut. 1. Mutu dan Relevansi Pendidikan Dalam kaitan dengan mutu dan relevansi pendidikan, beberapa indikator keberhasilan pendidikan perlu dimonitor sebagai kinerja Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Mutu dapat diukur dari seberapa efektif pengelolaan sistem pendidikan, melalui MBS, dapat memberikan efek terhadap prestasi belajar siswa secara optimal. Yang paling tepat untuk mengukur mutu pendidikan sebenarnya adalah hasil evaluasi ujian akhir yang diukur melalui Ujian Akhir Nasional, namun kegiatan monitoring yang dilakukan ini tidak secara langsung mengukur output pendidikan dalam pengertian prestasi belajar siswa secara akademis. Yang dimaksud dengan relevansi adalah, seberapa jauh hasil-hasil pendidikan dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dalam berbagai bidang, misalnya, penghasilan lulusan, keterampilan lulusan, pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran, dan sebagainya. Namun, sistem ini mungkin lebih tepat untuk memantau sejauh mana Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dapat memberikan pengaruh atau dorongan terhadap situasi belajar yang kondusif bagi peningkatan mutu serta relevansi pendidikan. Beberapa indikator mutu dan relevansi pendidikan yang dapat dipantau oleh sistem ini antara lain adalah sebagai berikut. (1) Peningkatan persentase lulusan terhadap jumlah murid tingkat akhir yang mengikuti ujian (2) Pendayagunaan sarana-prasarana belajar yang lebih optimal di sekolah-sekolah (seperti buku pelajaran, perpustakaan, alat pelajaran, media pendidikan, dan pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar. (3) Peningkatan kualitas guru yang diukur dari rata-rata tingkat pendidikan guru dan jumlah penataran yang diikuti. (4) Persentase siswa pendidikan pra sekolah terhadap jumlah penduduk usia pra sekolah.
31
2. Indikator Pemerataan dan Perluasan Pemerataan dan perluasan pendidikan sebaiknya bukan hanya diukur dari seberapa banyak jumlah sarana-prasarana belajar tetapi juga menyangkut persebaran sarana-prasarana pendidikan antarsekolah dan antardaerah. Hal ini akan menyangkut prinsip keadilan di dalam pendidikan di mana setiap anak-anak di manapun dapat memperoleh akses terhadap sarana pendidikan yang sama. Pemerataan dan perluasan pendidikan juga akan berkaitan dengan tingkat partisipasi pendidikan bagi semua anak usia sekolah dalam satuan-satuan pendidikan yang ada. Partisipasi pendidikan itu merupakan indikator pendidikan yang digunakan oleh semua negara, sehingga dapat dibandingkan antardaerah dan bahkan antar negara. Beberapa indikator pemerataan dan perluasan pendidikan yang dapat dipantau Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah sebagai berikut. (1) Peningkatan angka partisipasi kasar (APK), yaitu persentase jumlah murid pada suatu satuan pendidikan terhadap jumlah penduduk usia yang berkaitan, baik secara agregat maupun menurut karakteristik siswa. (2) Angka partisipasi Murni (APM), yaitu persentase jumlah murid pada usia sekolah tertentu terhadap jumlah penduduk usia sekolah pada suatu satuan pendidikan yang bersangkutan, baik secara agregat maupun menurut karakteristik siswa. (3) Angka Partisipasi Sekolah (APS) yaitu jumlah siswa pada kelompok usia tertentu yang terrepresentasikan pada beberapa satuan pendidikan, baik secara agregat maupun menurut karakteristik siswa. (4) Jumlah penerima beasiswa pada suatu satuan pendidikan atau suatu daerah tertentu, dengan tanpa membedakan beberapa variabel karakteristik siswa seperti: jenis kelamin, daerah, status sosial-ekonomi, dan sejenisnya. (5) Kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan pada setiap satuan pendidikan, baik yang bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan dari masyarakat. 3. Indikator Manajemen Pendidikan Sampai saat ini masalah yang paling mendasar dalam sistem pendidikan nasional adalah efisiensi dalam manajemen pendidikan. Oleh karena itu berbagai ukuran efisiensi dan optimasi dalam manajemen pendidikan perlu dipantau dan dievaluasi secara terus-menerus dan dalam waktu yang teratur. Mengingat Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah berkaitan secara langsung dengan manajemen pendidikan baik pada satuan pendidikan maupun pada daerah-daerah otonom, maka ukuran-ukuran efisiensi dan efektivitas pendidikan perlu dijadikan indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja badan-badan tersebut. Beberapa indikator manajemen pendidikan yang dapat dipantau secara terus-menerus adalah sebagai berikut. 1) Besarnya (kenaikan) anggaran pendidikan (sekolah dan daerah otonom) yang diperoleh dari sumber-sumber pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat termasuk sumber lain seperti dunia usaha.
32
2) Kemampuan pengadaan sarana-prasarana pendidikan di sekolah yang diperoleh dari masyarakat. 3) Kemampuan pengadaan sumber daya manusia (guru dan tenaga kependidikan) yang diperoleh dari sumber masyarakat. 4) Perubahan dalam tingkat efisiensi pendayagunaan tenaga guru di sekolah yang diukur dengan tingkat “turn-over”. (5) Penurunan persentase mengulang kelas rata-rata pada suatu satuan pendidikan tertentu (6) Penurunan persentase putus sekolah rata-rata pada suatu satuan pendidikan (7) Peningkatan angka melanjutkan sekolah (transition rate) dari suatu sekolah ke sekolah pada jenjang pendidikan berikutnya. BAB VII PENUTUP
33
Sesuatu yang ideal dalam teori tidak dengan sendirinya memberikan jaminan pada kenyataannya (Dedi Supriadi, Guru di Indonesia, 2003:18-19) Buku acuan opersional kegiatan dan indikator kinerja Komite Sekolah ini disusun untuk memberikan rambu-rambu yang dapat digunakan oleh Komite Sekolah untuk segera memutar roda organisasinya yang kini sudah dibentuk. Diharapkan agar buku acuan ini tidak sampai mematikan gagasan dan kreativitas Komite Sekolah. Justru sebaliknya, Komite Sekolah dapat menggunakan buku acuan untuk dapat mengembangkan lebih lanjut apa yang tertuang di dalam buku acuan ini. Biarlah Komite Sekolah tumbuh dan berkembang ibarat bunga di taman yang indah dengan segala warna dan variasinya, tetapi diharapkan bunga-bunga itu tetap dapat memancarkan harum baunya kepada masyarakat sebagai pemilik sejati pendidikan ini. Dalam buku acuan ini sengaja disusun satu instrumen evaluasi yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja Komite Sekolah. Instrumen itu disebut sebagai instrumen mandiri (self assessment), yang dengan demikian instrumen itu Komite Sekolah dapat mengukur sendiri kinerjanya. Instrumen itu pun tidak tertutup kemungkinan untuk disempurnakan lebih baik lagi. Untuk menutup buku acuan operasional ini, kita diingatkan oleh Dedi Supriadi bahwa „sesuatu yang ideal dalam teori tidak dengan sendirinya memberikan jaminan pada kenyataannya‟. Dengan kata lain, yang penting adalah satunya kata dalam perbuatan dalam menjalankan roda organisasi Komite Sekolah.

STOP LOVING YOU - TOTO

Diposting oleh Suharja,S.Pd

Reflections in my mind, thoughts I can't define 
My heart is racing and the night goes on 
I can almost hear a laugh, coming from your photograph 
Funny how a look can share a thousand meanings 
Well-intended lies, contemplating alibies 
Is it really you, or is it me I'm blaming 
A distant memory flashes over me 
Even though you're gone, I feel you deep inside 
Dance beneath the light with that look in your eyes 


Chorus: 
I can't stop loving you, time passes quickly and chances are few 
I won't stop till I'm through loving you, girl 


There's a window in a heart, I've tried to look through from the start 
You're never really sure what someone else is thinking 
Someone's broken something new, another altered point of view 
Just a certain someone's conscience playing 


I held it in my hand, I did not understand 
What lives inside the wind that cries her name 
Tried to catch a shooting star, what seems so close can't be that far 
I'm living in a dream that's never ending 


Dance beneath the light with that look in your eyes 


Chorus: 
I can't stop loving you, time passes quickly and chances are few 
I won't stop till I'm through loving you, girl 


(Instrumental break) 


Dancing with that look that's in your eyes 
Chorus: 
I can't stop loving you, time passes quickly and chances are few 
I won't stop till I'm through loving you, girl 


Chorus: 
I can't stop loving you, time passes quickly and chances are few 
I won't stop till I'm through loving you, Loving you…